Memaknai kembali cinta dan alam

Mengartikan Pecinta Alam secara harfia berarti mengartikan dua kata dasar cinta dan alam, jika mengartikan dan menjabarkan kata cinta pasti akan luas dan banyak orang yang berbeda-beda mengartikan dan mengeplementasikannya. kata alam sendiri cenderung hanya sebagai objek juga mengalami degradasi arti, alam cenderung hanya di batasi pada area liar yang tidak ada penghuni manusia. 

Pecinta Alam sendiri telah menjadi sebuah nama kelompok yang lahir karena kegiatan mendaki yang kemudian berkembang pada kegiatan luar ruangan lainnya. tak bisa di pungkiri Pecinta alam yang lahir dari sebuah kesenangan mendaki gunung yang pada perkembangannya hanya lebih banyak berkutat pada kegiatan pencapaian dan eksplorasi petualangan. kalau pun ada kegiatan lingkungan dan konservasi itu masih sebatas pemanis.

Pun sejalan dengan makna mencintai yang di yakini di negeri ini, mencintai hanya cenderung dimaknai sebagai kepemilikan dan hak-hak menikmatinya, seperti halnya kita mencintai suatu barang, dengan segala usaha kita akan mendapatkannya untuk bisa memilikinya yang kemudian bisa dengan sesuka hati menikmatinya. seperti itulah yang penulis pahami tentang bagai mana Pecinta alam memahami nama yang mereka sandang entah hanya sekedar berasal dari pendaki semata maupun didapat dari menjadi anggota organisasi kepecinta alaman.

Pecinta alam dalam menjaga kelestarian alam hanya sebatas pada tiga etika dasar pendakian.

1. tidak memburu sesuatu kecuali waktu
2. tidak mengambil sesuatu kecuali gambar
3. tidak meninggalkan sesuatu kecuali jejak


yang dalam bahasa sederhannya cukup dengan tidak mengambil apapun di gunung dan membawa kembali sampah kita sendiri, mengganggap kita berhak mengeksplorasi semua sudut hutan dan gunung.

dalam ranah aturan negara kita telah alpa terhadap aturan kawasan konservasi, bahkan lebih ironinya lagi materi konservasi yang pernah kita dapat dan kita berikan pun juga alpa dari pemahaman makna konservasi dan kata lestari itu sendiri. alih-alih konservasi dan menjaga kelestarian, pemahaman dan peraturan kawasan konservasi itu sendiri kita tidak pernah tau.

Sebagai organisasi maupun perorangan yang menyebut diri sebagai pecinta alam, pengetahuan kawasan konservasi seharusnya menjadi dasar pengetahuan dan kesadaran dalam berkegiatan luar lapangan. agar kita tahu bagaimana batas-batasan kita berkegiatan dan sebagai koridor menjaga nafsu eksplorasi petualangan kita. Terlebih di jaman milenial ini, dimana akses informasi begitu sangat mudah didapat, semua orang begitu sangat mudah untuk mendaki gunung kapan pun dan gunung mana pun.

Berbicara kawasan konservasi, cagar alam menjadi level tertingginya, entah penulis yang alpa atau memang secara terstruktur telah alpa pada aturan tersebut. kerusakan gunung, hutan dan alam pada konteks sampah dan kunjungan tidak dapat tolak jika disebut berawal dari kegiatan pendakian dan petualangan, yang pada waktu dulu lebih banyak di lakukan oleh organisasi maupun kelompok pecinta alam.

Dalam konteks kode etik pecinta alam sendiri pada pasal 2 yang berbunyi
"Memelihara alam beserta isinya serta menggunakan sumber daya alam sesuai dengan kebutuhannya"
tidak kah mendaki dan kegiatan luar ruangan juga termasuk menggunakan sumber daya alam? lalu sudah kah kita membatasi diri menggunakan sumber daya alam dalam arti mendaki sesuai dengan kebutuhan kita? atau kita mendaki hanya menuruti nafsu dan hasrat sehingga mengabaikan hak-hak mahkluk lain yaitu tumbuhan dan hewan untuk mempunyai ruang privasinya?

atau hanya kebutuhan petualangan kita yang tak akan pernah habis terpenuhi?

Belum lagi nyatanya kita belum atau mungkin masih salah dalam mengenal gunung itu sendiri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Baca Juga

Embun awan #1

Satu persatu barang bawaan yang terbungkus rapi di masukan kedalam tas ransel yang telah dibelinya setahun yang lalu dan jarang dipergunaka...

Paling banyak di baca