Sekarang gunung tidak lebih dari studio foto pemuas eksistensi media sosial
Entah gambar di atas penyebutan nya apa, lettering kah? foto kah? entah lah. yang pasti gambar di atas aku unggah pertama kali di story WA dan Story Instagram lalu tidak sampai sebulan baru aku posting di feed instagram yang juga aku posting di akun Facebook di hari dan caption yang sama.
Dan entah dimulai dari siapa yang sampai sekarang agak menjadi viral dikalangan pejalan dan pendaki, aku berniat menulis inipun karena melihat postingan Urban hikers di akun instagramnya dan seperti hal-hal lainnya selalu ada pro dan kontra dan itu wajar dan hal biasa, hanya saja merasa tergelitik untuk menjelaskannya, meski klo dipikir bukan soal percuma tapi pro dan kontra akan tetap ada.
Baik komentar yang pro dan terutama komentar yang kontra, tidak ada yang salah dengan komentar mereka dan memang tidak ada yang salah dengan memotret di gunung atau di tiap perjalanan, lagi pula gambar yang aku buat juga bukan suatu larangan bukan? gambar ini lebih sebagai gambaran kondisi gunung dan alam sekarang diperlakukan, foto seperti apa yang biasa dilakukan di studio foto?
Iya hanya terfokus pada manusianya, alam hanya sekedar background semata, karena kebanggan di sebut keren, yang bisa saja sewaktu-waktu tergantikan, jika pun kalian semua tersindir ya begitu juga dengan diriku sendiri. karena selain posting tersebut, semua posting instagram, caption dan segala posting di sosial media aku, itu semua adalah sindiran dan nasehat untuk diriku sendiri, tidak sedikit juga berasal dari kesalahan ku sendiri.
Tapi mari kita coba menelaah dan merenungkan maksud dari kata-kata ini yang mungkin akan berdasar versi ku,
Dalam konteks bahasa aku rasa ini bukan suatu larangan kepada pendaki manapun untuk melakukan kegiatan memotret di gunung, tapi entah jika menurut para ahli bahasa Indonesia karena niat saja tidak cukup di negeri ini harus menggunakan tata bahasa yang baik agar pendakinet tidak geram.
Kalimat ini coba baca sekali lagi
"Sekarang gunung tidak lebih dari studio foto pemuas eksistensi media sosial"
ini suatu gambaran kondisi yang terjadi sekarang bagaimana alam diperlakukan di sosial media, jadi kita batasi konteksnya di sosial media dan karena tidak imbangnya informasi atau pun kontens gunung di sosial media yang lebih banyak hanya jadi background, foto selfie, sefie, video bom2 chalenge, naik turun naek, salam-salam dari selembar kertas.
waduh panjang penjelasannya rada-rada susah dan komplek penjelasannya jika lewat tulisan, aku lebih enjoy menjelaskan dengan jawaban sebuah pertanyaan dan ya karena tulisan ini bukan berniat untuk klarifikasi hanya sekedar pemantik aku buat nulis lagi.
Setidaknya kalimat ini bisa jadi pengingat dan renungan buat diri ku sendiri dan semoga jadi pengingat dan renungan pula buat orang lain yang membaca bagaimana kita seharusnya memperlakukan alam, masing-masing kita akan berproses sendiri-sendiri. karena kita punya gigi untuk mengunyah, kita punya otak untuk menelaah agar tidak menelan mentah-mentah begitu saja.
Nanti mungkin akan masuk dalam buku seorang kawan yang akan memaparkan maksud kalimat ini dan bagaimana seharusnya alam diperlakukan dan tentu saja itu menurut versi dia.
ya jadi promo
pasti akan ada slentingan ini setingan cari sensasi untuk menaikan jualan buku
aaah sudah lah.
salam hormat dan jangan di bully
wassalam,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar